Hilangnya Identitas Pecinan dan Konflik Cirebon-Tionghoa

kawasan-pecinan-cirebon
Kawasan Pecinan di Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Identitas kawasan ini telah banyak berubah dibanding saat pertama warga Tionghoa mendiami wilayah tersebut. Foto: Ade Gustiana/Radar Cirebon.
0 Komentar

Pecinan di Kota Cirebon, seperti yang banyak masyarakat ketahui, yaitu di kawasan Lemahwungkuk. Namun kondisi tersebut telah banyak berubah. Identitas kawasan Pecinan di awal terbentuk nyaris tak ada yang tersisa. Itu didasari beberapa sebab. Seperti, imbuh Halim, kebijakan memperlebar jalan oleh Pemda Kota Cirebon di tahun 1970-an.

“Memperlebar jalan 3 hingga 5 meter. Itu mengubah total (Kawasan Pecinan di Kota Cirebon, red). Kecuali bagian dalamnya (rumah penduduk Tionghoa, red) yang masih ada,” ungkap pria kelahiran tahun 1958 tersebut.

Banyak pengaruh budaya Tiongkok yang terafirmasi dengan budaya Nusantara khususnya di Cirebon. Baik dalam keseharian atau kesenian. Paling sederhana teridentifikasi dari Bakso atau Bakmi. Termasuk wadah atau mangkok yang digunakan.

Baca Juga:Mengenal 5 Alat Musik Petik Asli IndonesiaEmak-emak Ngemis Online Diperiksa Polisi, Oh Ternyata…

Selain itu Cirebon punya batik peranakan. Termasuk akulturasi dalam tari topeng. Pakaian tari topeng, aksesoris yang digunakan hingga dominasi warna merah pada topeng, menjadi unsur yang tak terpisahkan dari budaya Tionghoa.

Konflik Cirebon dan Tionghoa

Persahabatan pendatang Tionghoa dan warga lokal Cirebon sempat memanas karena urusan sepele. Kakak dari Halim Eka Wardhana pernah ada dalam pusaran konflik yang terjadi di tahun 1963 tersebut.

Halim bilang, konflik dipicu dari pemuda SMA Negeri Cirebon -sekarang SMAN 1 Cirebon- yang berboncengan motor. Saling senggol di jalan. Terjadi salah paham. “Kakak saya yang nomor 2 sekolah di SMAN Cirebon. Dia mengalami proses pengadilan karena solidaritas dengan teman-temannya,” ucap Halim.

Tak diceritakan secara jelas sejauh mana konflik tersebut. Hanya saja, terang Halim, sempat muncul sentimen antiChina. Bahkan hingga melebar ke seluruh Jawa Barat. Rasisme terjadi. Vandalisme dilakukan di tembok-tembok atau ruang publik.

Sepanjang yang Halim dengar dari cerita kakaknya dan buku dari sejarawan Ong Hok Ham yang ia baca, tak sampai kepada bentrokan fisik. Pun tak separah kerusuhan tahun 1998 di Jakarta.

“Meluas sampai akhirnya jadi kerusuhan rasial antiChina di seluruh Jawa Barat. Tahun 1965 timbul lagi kerusuhan antiChina tapi masih bersifat sporadis,” tuturnya.

0 Komentar