Pembangunan makam milik tokoh adat Sunda Wiwitan, yang berlokasi di Curug Go’ong Desa Cisantana, Kabupaten Kuningan, hingga kini menuai polemik. Masyarakat Sunda Wiwitan merasa diperlakukan tidak adil, sementara Pemkab Kuningan bersikukuh memegang aturan.ABDULLAH DAN TAUFIK, Cirebon
TIDAK adanya kepastian, membuat gerah Keluarga Pangeran Djatikusumah dan masyarakat adat Sunda Wiwitan. Kemarin (16/7), mereka menggelar konferensi pers di Kota Cirebon untuk menyampaikan perkembangan mengenai polemik yang dinilai sepihak dan memojokkan masyarakat adat.
Putri keenam Pangeran Djatikusumah, Djuwita Djatikusumah Putri ini mengungkapkan, pihak keluarga melihat banyak kejanggalan pada polemik yang hingga kini bergulir tersebut.
Dituturkan Djuwita, polemik tersebut berawal dari terbitnya surat teguran dari Satpol PP Kabupaten Kuningan dengan nomor 300/774/ Gakda pada tanggal 29 Juni 2020. Setelah itu, disusul dengan surat teguran selanjutnya dengan nomor 300/ 807/ Gakda tanggal 6 Juli 2020 yang isinya hampir sama, bahkan ditambah dengan permintaan penghentian pembangunan makam.
Kedua surat teguran tersebut, diklaim merujuk pada Peraturan Daerah nomor 13/ 2019 tentang Izin Mendirikan Bangunan (IMB). “Awalnya kami ditegur karena tidak punya IMB,” kata Djuwita.
Tak hanya mendapatkan surat teguran dari Pemda Kuningan melalui Satpol PP, lanjut Djuwita, pihak keluarga yang tengah membangun makam untuk tokoh masyarakat adat Sunda Wiwitan pun, hampir di waktu yang bersamaan mendapatkan penolakan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Desa Cisantana.
“Padahal pembangunan makam sudah kita mulai sejak 2014. Mulai dari membuat akses masuk, semua kita lakukan bersama masyarakat. Tidak ada polemik, nah sekarang kok tiba-tiba,” jelasnya.
Alih-alih menyikapi surat teguran yang dilayangkan oleh Satpol PP, kata Djuwita, pada tanggal 1 Juli lalu, pihaknya pun menempuh prosedur untuk mengajukan IMB. Namun setelah prosedur ditempuh, pengajuan pembuatan IMB ditolak dengan alasan yang kembali janggal.
“Kami dituduh tidak mengikuti konstitusi. Kami ikuti aturan dengan mengajukan IMB. Tapi tanggal 14 Juli pengajuan IMB kami ditolak dengan alasan belum ada regulasi juknis mengenai IMB untuk makam. Ini aneh,” ujar Djuwita.
Di tengah polemik serta kejanggalan yang banyak ditemukan, mulai dari munculnya surat teguran, hingga 20 ormas ikut menolak pembangunan makam leluhurnya, pihak masyarakat adat menganggap ini adalah kesewenang-wenangan pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, dalam merespon kondisi yang terjadi di lapangan. Sehingga, mereka mendesak Pemkab Kuningan untuk menghentikan diskriminasi yang dilakukan terhadap masyarakat Sunda Wiwitan.