Wood Pellet, Energi Terbarukan Rendah Emisi

Wood Pellet, Energi Terbarukan Rendah Emisi
Produksi kacang goreng yang bahan bakarnya menggunakan wood pellet. Foto: Ade Gustiana/Radar Cirebon
0 Komentar

Bisnis rumahan warga Blok Wanakerta, Desa Rawa, Kecamatan Cingambul, Kabupaten Majalengka, semakin bergairah. Mereka lebih bisa menghemat pengeluaran dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Menggunakan Wood Pellet atau Pelet Kayu.

ADE GUSTIANA, Majalengka
DALAM 1 hari H Asep Setiawan mampu memproduksi 4 ton singkong mentah untuk dijadikan kripik varian rasa sebanyak 500 bal (pak). Omsetnya “wah”. Menjanjikan.
Per kilogram kripik rasa pisang manis/asin, talas, ubi, singkong rujak/lada hitam/original dijual Rp20 ribu. Sementara untuk 1 bal dihargai Rp55 ribu dengan berat 3 kilogram. Asep telah memiliki pelanggan tetap di wilayah Jabodetabek, Tangerang, hingga Pulau Jawa yang melakukan pengiriman setiap harinya.
Pria yang akrab dipanggil H Ahe itu telah menjalani home industri kurang lebih selama 20 tahun. Hingga saat ini telah memiliki 12 karyawan laki-laki bagian produksi dan 7 orang karyawan harian perempuan yang bertugas memisahkan kulit singkong dari dagingnya.
Jatuh bangun pernah dialami. Selama itu, sedikitnya ada 4 bahan bakar pernah di uji coba. Mulai dari minyak tanah, solar, kayu bakar, dan pelet kayu yang telah digunakan selama 6 bulan terakhir.
Untuk memproduksi 4 ton bahan baku singkong, dalam 1 hari Ahe membutuhkan 1 ton pelet yang dibagi kedalam 3 tungku penggorengan. Pengeluaran yang dibutuhkan sekitar Rp450 ribu. Sementara jika menggunakan kayu bakar, ia meski menggelontorkan Rp750 ribu. Dalam kata lain, hemat Rp200 ribu setiap hari atau Rp6 juta per bulan.
Lebih menghemat ruang simpan di dalam gudang, menjadi alasan selanjutnya Ahe memilih bahan bakar dengan diameter sekitar 8 ml per butirnya tersebut. “Asapnya sedikit, tidak membuat kotor dinding dalam ruangan. Suhu ruangan juga tidak panas,” ujar Ahe kepada Radar Cirebon di rumah produksinya; PD Mutiara Abadi yang berlokasi di RT/RW 1/4 blok/desa setempat.
Ia menambahkan, di Desa Rawa ada sekitar 150 home industri makanan ringan. Dari seluruhnya, baru 4 industri rumahan yang telah memanfaatkan energi terbarukan yang banyak dimanfaatkan Negara di Eropa dan Amerika sebagai penghangat ruangan di saat musim dingin itu. “Di kami, konsumen kebanyakan anak sekolah dan pegawai negeri, sebelum corona produksi bisa lebih banyak,” tukasnya.

0 Komentar