MUNDU – Kasus praktik bisnis prostitusi di bantaran Sungai Desa Mundu Pesisir, Kecamatan Mundu masih dalam penyelidikan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Cirebon. Sebelumnya, ada 8 warung penyedia jasa sewa kamar esek-esek yang terjaring razia, Sabtu (27/6) lalu.
Namun, setelah dilakukan pengembangan oleh penyidik Satpol PP, 6 warung lainnya telah terdeteksi. Jadi, jumlah warung yang menyediakan sewa kamar esek-esek di wilayah tersebut telah bertambah menjadi 14 warung. Bahkan, alat kontrasepsi (kondom, red) yang diamankan Satpol PP juga bertambah, yakni lebih dari 200Â bungkus kondom dengan kondisi masih baru.
“Ada 6 warung lagi yang belum terjaring razia, karena saat kita ke sana mereka tutup dan pemiliknya melarikan diri. Tapi, kita sudah layangkan surat panggilan. Nanti, Kamis (2/7) akan ke sana lagi untuk melakukan periksaan terhadap 6 orang pemilik warung. Karena dari informasi masyarakat, mereka terindikasi,” papar Iman Sugiharto, Kabid Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat (Tribuntransmas).
Disinggung soal jumlah PSK yang melakukan praktik di daerah tersebut, Iman belum bisa menjawab pasti. Karena pada saat Satpol PP melaksanakan razia, tidak ada PSK yang sedang melayani tamu. Hanya 4 orang yang diduga sebagai PSK karena ada di lokasi. Namun, untuk barang bukti kondom, pihaknya berhasil mengamankan ratusan kondom dari setiap kamar yang ada di warung tersebut.
“Kalau barang bukti alat kontrasepsi sih kita temukan dihampiri setiap kamar ada. Tapi, jumlah berbeda-beda. Berapa lamanya ada praktik itu, dari informasi masyarakat sudah lama. Namun, kita baru tahu sekarang karena memang posisinya perbatasan. Mereka juga kucing-kucingan terus dengan petugas,” katanya.
Iman menjelaskan, pihaknya sudah memberikan pembinaan kepada para pemilik warung yang menyediakan tempat sewa esek-esek. Mereka juga diberikan surat pernyataan agar membongkar sendiri bangunan tersebut dalam kurun waktu 3 hari. “Sebenarnya mereka ini pendatang, dari Brebes, Bumiayu, dan Kebumen. Mereka juga sudah kita minta untuk tanda tangan diatas matrai dan membongkar sendiri sampai batas waktu 3 hari, tanpa ada paksaan karena mereka menyadari,” terangnya.
Disinggung soal upaya pembongkaran paksa, Kabid mengaku harus berkoordinasi dengan BBWS, Kecamatan, dan pemerintah desa setempat. Pasalnya, pemilik warung juga dianggap bersalah semua karena membangun bangunan liar di bantaran sungai.