Itu, kata Suhendra, ke depan akan menguntungkan vihara. Tinggal bagaimana dukungan dari Pemkot Cirebon. Agar bisa mendatangkan pemasukan. Misalnya melalui uang tips pendampingan wisatawan tadi. Juga potensi di sekitarnya. Selain rumah ibadah umat Tionghoa, juga ada gereja dan masjid berserah di kawasan itu. Yakni Gereja Katolik Santo Yusuf di Jl Yos Sudarso dan Masjid An Nur, masih di Jl Kantor. Persis di deretan ruko Cirebon Mal.
Suhendra menambahkan, kegiatan vihara juga bisa menjadi pemikat wisatawan datang. Misalnya pertunjukan barongsai yang banyak disukai anak-anak. Dalam seminggu bisa tiga kali melakukan latihan. Dilakukan untuk persiapan ketika ada undangan. Atau perayaan hari besar seperti Cap Go Meh.
Sebetulnya banyak agenda lain di vihara tersebut. Senin (14/6) hari ini ada festival bakcang. Juli depan ada sembahyang rebutan. Sayang sembahyang rebutan atau cio-ko itu tak dirayakan meriah. Misalnya seperti di Klenteng Sanggar Agung Kota Surabaya. Konon karena anggaran yang minim. Dan kurangnya dukungan dari unsur terkait.
Sementara Salah satu perwakilan masyarakat Tionghoa, Halim, mengungkapkan bahwa hingga saat ini Pekot Cirebon hanya omongan saja terkait dengan penataan kawasan kota tua. Halim juga menyoroti minimnya bangunan tua di Kota Cirebon. Ia juga membandingkan dengan Semarang yang memiliki bangunan tua yang banyak.
“Sudah ada tiga sampai empat tahun (wacana, red). Implementasinya gak ada. Sekarang yang mau dijual apa, fisiknya? Paling sekitar Yos Sudarso, gereja tua, Kantor Pos, dan BAT. Tidak menarik kota tua di Kota Cirebon. Berbeda dengan Semarang. Bangunan fisik bekas pabrik rokok di sana masih banyak. Kalau Cirebon kan sedikit,” terang Halim, kemarin.
Ia juga menceritakan minimnya antusiasme dari masyarakat Kota Cirebon, khususnya para pedagang di sekitaran Kanoman yang memiliki bangunan tua. Kebanyakan mereka mengeluh bahwa belum ada kepastian dari pemkot dan juga repot ketika mengurus perizinan hingga pengelolaannya.
“Pemilik bangunan di Kanoman juga tidak antusias diajak kerja sama. Misal saja kalau usianya di atas 50 tahun harus didaftarkan jadi benda cagar budaya. Nantinya kalau ada kerusakan harus lapor dan prosesnya berbulan-bulan. Repot,” tandasnya.