Dari keterangan tersebut, dapat dipahami bahwa jika ayah tiri memenuhi persyaratan, maka ia bisa menerima tawkil wali nikah.
Tentunya tawkil ini harus dilakukan dengan kalimat serah terima yang sah menurut syariat Islam.
Hal demikian juga berlaku bagi selain ayah tiri, seperti ayah angkat, guru, atau siapa pun yang memang bukan wali asli.
Baca Juga:Diduga Gelapkan Uang Tabungan Siswa, Wali Murid Laporkan Mantan Kepala Sekolah ke Polresta Cirebon Sulap Lahan Kosong, DPRD Kabupaten Cirebon Hadirkan Taman Terbuka yang Menyegarkan
Namun demikian, hal yang perlu benar-benar diingat bahwa tawkil ini dilakukan atas dasar serah terima, sehingga keberadaan pihak yang menyerahkan, dalam hal ini adalah wali asli, haruslah benar-benar ada.
Sedangkan jika semua wali asli tidak ditemukan, entah karena sudah meninggal, menghilang atau sebab lainnya, maka yang berhak menjadi wali adalah hakim.
Jika di suatu wilayah tidak ditemukan adanya hakim, maka yang menempati posisi hakim ini ialah muhakkam, yakni seseorang yang diposisikan sebagai hakim dengan persyaratan tertentu.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Zainuddin Ahmad bin Abdulaziz al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in (Surabaya, Kharisma: 1998), halaman 472:
ثم إن لم يوجد ولي ممن مر فيزوجها محكم عدل حر
“Kemudian jika tidak ditemukan wali dari orang-orang yang telah tersebut di atas, maka yang menikahkan perempuan tersebut adalah muhakkam yang adil dan merdeka”.
Dengan demikian, ayah tiri tidak bisa menjadi wali nikah kecuali jika ia telah menerima perwalian dari wali nikah asli sebagaimana yang sudah ditentukan oleh syariat Islam.
Semoga penjelasan ini memberikan pencerahan bagi kita semua. Wallahu a‘lam. (*/dikutip dari Tim Layanan Syariah, Ditjen Bimas Islam)