Mengapa Orang Indonesia Suka Foto dengan Bule? Ternyata Ini Alasannya

alasan orang indonesia suka foto dengan bule
Alasan orang Indonesia suka foto dengan bule. Simak penjelasan berikut ini. Foto: Yuda Sanjaya - RADARCIREBON.ID
0 Komentar

RADARCIREBON.ID – Jika orang Indonesia bertemu bule, hal yang dilakukan biasanya minta foto bareng, dengan berbagai gaya. Setelah diupload ke media sosial.

Atau, jika ada bule lewat, langsung melirik, seperti melihat spesies dari langit. Segan, kagum dan menganggap dirinya sangat rendah.

Sementara itu, bagi orang Indonesia, jika kulitnya gelap, logatnya medok, atau memakai sarung ke mana-mana, malah dicibir ‘ndeso’.

Baca Juga:Zohran Mamdani, Muslim Pertama Calon Wali Kota New York, Bikin Trump Naik PitamMiris Kehidupan Lansia di Barat, 1 dari 4 Tinggal Sendirian, Banyak yang Meninggal Sebatang Kara

Yang memakai batik dianggap jadul. Yang main wayang dianggap kolot. Yang mendengar sholawat dikira ketinggalan zaman.

Tapi kalau sudah mendengarkan jazz, memakai hoodie bertuliskan Yale, dan nonton konser K-pop, barulah dikira “open minded”.

Apa yang salah? Mengapa yang kalah justru bangga meniru? Ada ulasan menarik dari akun Kopidiyyah tentang hobi orang Indonesia yang meniru dan mengagumi gaya Barat tersebut.

Melalui unggahan di media sosial Facebook, Kopidiyyah mengungkapkan jika hal itu dilatarbelakangi sejarah Indonesia. Ratusan tahun negeri ini dijajah Belanda. Selama itu pula, semua yang “berkelas” di mata rakyat adalah Belanda dan apa yang mirip dengan Belanda.

Dalam sistem kolonial Belanda, rang kulit putih adalah “ndoro”, majikan, penguasa, dan orang terhormat. Pribumi (inlander) adalah budak, pekerja, pelayan, atau rakyat jelata yang dianggap kotor, bodoh, dan tak berdaya.

Orang Eropa bisa naik kereta depan, makan di restoran elite, sekolah di HIS dan HBS. Sementara orang pribumi hanya boleh sekolah rendahan. Bahkan dilarang bicara dalam bahasa Belanda, kecuali sebagai jongos.

Dari sinilah terbentuk “struktur kekuasaan simbolik.”

Segala sesuatu yang berasal dari penjajah dari bahasa, baju, makanan, sikap dianggap lebih keren, lebih tinggi, dan lebih layak ditiru.

Baca Juga:Menyoal Rumah Netanyahu, Diambil Paksa Negara dari Seorang Dokter PalestinaMenyoal Rumah Netanyahu, Diambil Paksa Negara dari Seorang Dokter Palestina

Dan sebaliknya, segala yang berasal dari lokal: dianggap hina, kolot, dan harus ditinggalkan.

Karena tidak sadar bahwa yang dianggap “maju” itu belum tentu benar-benar unggul. Bisa jadi hanya karena sedang dijajah dan kalah, lalu buta dan ikut-ikutan.

Jawabannya ada di psikologi manusia. Dan rahasianya dibongkar ratusan tahun lalu oleh Ibn Khaldun, seorang sejarawan jenius dunia Islam. Dalam Muqaddimah-nya pada abad ke-14, jauh sebelum psikologi modern lahir.

0 Komentar