Anak-anak Menunggu Surak hingga Rekreasi Sungai Naik Perahu

0 Komentar

Makam/Petilasan Pangeran Drajat telah banyak berubah. Semakin surut pengunjung. Dulu, bukan hanya sebagai wisata sejarah. Tapi tujuan rekreasi. Pun kini tiap hari selalu ada yang datang. Tapi bukan untuk ziarah. Mereka adalah warga sekitar yang menunggu surak (saweran).ADE GUSTIANA, Cirebon“SEKITAR tahun 1980-an, selain ziarah, banyak yang datang untuk rekreasi. Karena dulu Sungai Suba (di sekitar petilasan, red) masih aktif dan bersih. Wisatawan memanfaatkan perahu yang mondar-mandir. Sekarang sudah tidak ada lagi, sungainya juga kotor,” ujar Zaid Riyadi, kuncen petilasan yang berlokasi di RT/RW 01/01, Gang Masjid, Kelurahan Drajat, Kesambi, Kota Cirebon, kemarin (6/10).
Pada masanya, kehadiran petilasan salah satu Walisongo itu cukup memberikan pengaruh terhadap kondisi perekonomian masyarakat di sekitarnya. Dari mereka, kata Zaid, banyak yang memanfaatkan untuk berjualan pernak-pernik hingga oleh-oleh khas warga lokal. “Namun tahun 2000-an ke sini, semakin jarang dikunjungi. Apalagi ditambah corona, semakin sepi,” tukasnya.
Saat Radar Cirebon berkunjung kemarin, banyak anak-anak usia sekolah dasar hingga menengah pertama sedang bersantai di sekitar petilasan tersebut. Beberapa dari mereka juga terlihat ibu-ibu usia matang. “Kapan suraknya,” tanya salah seorang dari anak-anak itu kepada juru kunci. “Nanti, kalau ada wisatawan dating,” jawab juru kunci.
Dikatakan Zaid, wisatawan yang datang ziarah biasanya melakukan syukuran dengan surak atau membagikan uang receh kepada warga sekitar. Tradisi surak, juga umum dilakukan masyarakat Cirebon. Yakni dengan menggunakan pecahan receh, puluhan hingga ratusan ribu uang disebar. Kemudian mereka berebut. Saling berdesakan.
“Surak jadi salah satu dampak baik warga setempat dari adanya petilasan Pangeran Drajat. Selain berjualan atau parkir kendaraan saat petilasan banyak dikunjungi wisatawan luar kota,” imbuh kuncen keturunan keempat tersebut.
Sekitar petilasan banyak makam lain. Nisan mereka umumnya diawali nama: Pangeran. Kata Zaid, nisan yang bergelar pangeran itu merupakan santri atau pengikut Pangeran Drajat saat menyebarkan syiar islam di tanah Cirebon.
Sekitar 50 meter dari petilasan, juga ada makam santri Pangeran Drajat lainnya. Letaknya di luar ruangan. Dikelilingi tembok dengan tinggi sekitar satu meter. Di antara rumah-rumah warga. Mereka adalah Pangeran Soka Wiana dan Pangeran Soka Wiani. “Keduanya merupakan kakak-beradik,” tutur Zaid. Lalu ada Makam Pangeran Palawangan. Serta makam santri lain yang tak diketahui pasti identitasnya.

0 Komentar