Kenakalan Remaja Cirebon; Memahami Psikologis dan Faktor di Baliknya

Kenakalan Remaja Cirebon; Memahami Psikologis dan Faktor di Baliknya
0 Komentar

Kenakalan remaja selalu buat geger masyarakat Cirebon. Tingkahnya tak jarang menimbulkan kerugian. Berorganisasi semakin membuat mereka berani. Lebih takut kepada pimpinan kelompok dibanding tuntutan hukum. Seperti apa psikolog menilainya?

ADE GUSTIANA, Cirebon
 
PALING nekat bisa sampai membunuh. Seperti bentrok antara kelompok Cangkring Boys dan Cirebon Gengster yang kasusnya diekspose polisi dua hari kemarin. Satu orang tewas. Segelintir kasus tapi menyeramkan. Membuat para orang tua ngelus dada.
Sementara yang juga sedang naik daun adalah keberadaan kelompok atau berandalan bermotor. Konvoi motor bergerombol sambil mengibaskan bendera kebesaran. Yang jelas-jelas itu mengganggu. Yang tak jarang juga menimbulkan kericuhan. Bentrok di jalan raya. “Mereka merasa berani ketika bersama kelompok atau organisasinya,” ujar Psikolog Cirebon Rini S Minarso kepada Radar, kemarin.
Rini menganggap kenakalan remaja adalah sesuatu yang biasa. Lumrah, ketika itu masih bisa ditolerir. Misalnya remaja bolos sekolah. Atau muda-mudi yang berpacaran di usia dini. Dikatakan, ada dua faktor yang menyebabkan remaja bertindak kelewat batas. Faktor internal dan eksternal. Internal dari dalam diri sendiri. Masa remaja adalah masa mencari jati diri. “Remaja itu dianggapnya masa ambigu,” ujarnya.
Sehingga remaja cenderung harus patuh terhadap aturan yang tercetus di lingkungan. Di sisi lain ada peran pribadi yang juga harus diisi. Misalnya tanggung jawab seorang anak kepada orang tua. Ada pemikiran peralihan antara masa anak-anak menuju dewasa itu. “Ketika anak-anak harus mengikuti aturan orang dewasa, dia butuh untuk diarahkan. Peran ambigu membuat anak ini jadi kebingungan,” tuturnya.
Manajemen itu menjadi berantakan ketika terjadi konflik terhadap diri sendiri. Anak tak menemukan cara mengatasi konflik pribadi tersebut. Sehingga lingkungan akan mempengaruhi. Yang akan membuat pribadi anak mengikuti sesuai yang ada di lingkungan tersebut. “Maka ketika dia ikut geng motor, dia tak bisa menolak. Karena anak merasa ketika ada di lingkungan itu, konflik dirinya bisa teratasi,” paparnya.
Bagaimana cara mengatasinya? “Menemukan akar masalah anak tersebut,” jawan Rini. Masih mengambil contoh pada kasus geng motor. Harus dilihat apa yang menjadi kebutuhan si remaja itu. Ketika dia hobi otomotif, sudah harusnya disediakan fasilitas penunjangnya. “Sehingga bisa terawasi karena dia remaja yang masih dalam aturan. Jadi jangan dilepas tanpa kontrol,” terangnya.

0 Komentar