“Ada dua pertemuan antara Sunjaya dan Hyundai. Saya ikut dan diminta hadir dalam pertemuan. Pertemuan pertama terjadi pada Maret 2017. Saat itu ada permintaan untuk pengamanan karena banyak demo,” kata Rita.
“Saya ingat Pak Sunjaya bicara kalau ada demo saya bisa meredakan, situasi harus kondusif. Tapi saya butuh operasional biar semuanya ikut mengamankan. Kalau tidak ada anggaran saya gak bisa apa-apa,” terang Rita, menirukan ucapan Sunjaya.
Dalam pertemuan itu juga disampaikan fee kubikasi, di mana di proyek pembangkit listrik itu butuh 1 juta kubik untuk pematangan lahan. Feenya Rp20 ribu per kubik.
Baca Juga:WADUH, Bima Tiktokers ke Jokowi: Kan Bentar Lagi Kelar Nih, Udah Selesai Nih Jadi PresidenBertambah, Partai Buruh Daftarkan 20 Bacaleg ke KPU Kota Cirebon
Menurut Rita, pada pertemuan tersebut kemudian adu undangan untuk visit Korea. Ada beberapa orang hang berangkat. Rita dan suami, Sunjaya dan istri, ajudan Deni, serta mantan kepala Bappeda Sono Suprapto beserta Istri.
“Di Korea Pak Sunjaya hanya 1 hari karena besoknya harus ke Malaysia. Saya bersama suami dan Pak Sono bersama Istri tetap sesuai agenda awal sampai dengan 4 hari. Semua akomodasi ditanggung Hyundai,” katanya.
Sepulang dari Korea, ia baru mendapat informasi jika HEC setuju dengan permintaan Sunjaya. Tapi besaran yang disetujui bukan Rp20 miliar melainkan hanya Rp10 miliar. “Jadi uang Rp10 miliar sudah disetujui, tapi tidak bisa dibayarkan tunai. Harus melalui perusahaan,” ujarnya.
‘Akhirnya Pak Sunjaya minta dibikin aja perusahaan. Saya usul ke putra bapak (Sunjaya) saja karena anak bapak pengusaha. Tapi Pak Sunjaya tidak mau dan meminta perusahaan menantu untuk menyamarkan penerimaan dari Hyundai,” sambung Rita.
Pada pembicaraan awal, Rita mengatakan menantunya menolak perusahaannya dijadikan media pencairan. Penolakn tersebut juga terjadi pada kesempatan kedua dengan alasan khawatir terjadi apa-apa.