Yang mengejutkan, mayoritas antrean tiket bukanlah warga lokal, melainkan pendukung Timnas Indonesia dari berbagai penjuru dunia—Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Australia, hingga Belanda dan Inggris.
Tiket yang dijual secara daring langsung habis dalam 10 menit, sementara penjualan langsung memicu antrean panjang hingga ke stasiun kereta bawah tanah.
Situasi ini membuat Federasi Sepak Bola Jepang (JFA) harus menggelar konferensi pers darurat. Presiden JFA, Tsuneyasu Miyamoto, dengan sopan meminta maaf karena memilih stadion berkapasitas kecil.
Baca Juga:KDM Salat Id di Cirebon, Janjikan Jalan Mulus Perbatasan Jabar-JatengKeluarga Korban Gunung Kuda Masih Berharap Ada Pencarian Susulan
Ia tak menyangka antusiasme suporter Indonesia akan melampaui negara Asia Tenggara lainnya yang pernah mereka jamu. “Saya kira Indonesia tidak punya banyak fans luar negeri,” ujarnya menyesal.
Dengan tertunduk hormat, Miyamoto menyatakan bahwa jika laga serupa terjadi di masa depan, Stadion Nasional Jepang yang mampu menampung 70.000 penonton akan disiapkan sebagai bentuk penghormatan terhadap Indonesia.
Fenomena ini menjadi simbol kebangkitan sepak bola Indonesia. Di luar lapangan, para suporter menampilkan semangat luar biasa, kreativitas tinggi, dan kedisiplinan.
Spanduk dukungan, lagu kebangsaan yang berkumandang, dan atribut merah putih menghiasi tribun. Momen ini menandai bahwa Timnas Indonesia kini bukan lagi “kuda hitam”, tapi kekuatan baru sepak bola Asia yang diakui tak hanya karena performa, tapi juga karena daya tarik suporter fanatik yang membawa atmosfer pertandingan ke level internasional. (mid)